Ketika Tindakan Menjadi Doa

Makna Tersirat dalam Hidmah 

Di halaman waktu yang dibentangkan Allah,
aku berjalan di antara bayang-bayang takbir
yang menggantung seperti lampion langit,
menjaga setiap langkah agar tetap menuju cahaya.

Di sana, hidmah menjelma
sebagai seutas benang emas
yang menghubungkan bumi yang letih
dengan singgasana kasih-Nya.
Benang itu begitu halus,
namun cukup kuat
untuk menarik hatiku kembali ke arah yang benar.

Setiap amal harian berubah menjadi simbol:
sapuan sapu adalah angin yang membersihkan dosa,
ember air menjadi cermin
tempat wajahku menatap niat sendiri,
dan sajadah terlipat
menjadi perahu kecil
yang mengantarkan harapan
ke samudra rahmat Tuhan.

Di balik rutinitas yang tampak biasa,
Allah menyembunyikan ayat-ayat tak tertulis
ayat yang tidak dicetak dalam mushaf,
tetapi ditanam di punggung mereka
yang bekerja dalam diam.

Mengangkat kursi, menutup pintu,
merapikan sandal berjajar,
semua itu adalah rasi bintang sederhana
yang membentuk peta perjalanan batin:
bahwa jalan menuju-Nya
bukan hanya lewat doa yang bersuara,
tapi juga lewat kerja yang tak ingin disorot dunia.

Ketika matahari merayap turun,
warna jingga langit menjadi pesan simbolik:
bahwa setiap letih adalah dupa
yang menguap ke hadapan-Nya.
Dan malam yang turun perlahan
adalah mantel hitam
yang membungkus seluruh pengabdian,
agar hanya Allah yang tahu
di mana cahaya itu disembunyikan.

Di titik itu aku paham,
bahwa tindakan yang ikhlas
adalah burung kecil
yang terbang tanpa sayap terlihat,
namun mampu menembus celah-celah langit
yang tak bisa dicapai oleh kata-kata.

Bahwa hidmah sehari-hari
adalah sebutir biji yang ditanam
di ladang hening,
yang suatu hari akan tumbuh
menjadi pohon doa
dengan akar yang memeluk bumi
dan daun-daun yang memanggil cahaya.